GuidePedia

0
Oleh: Fahmi Salsabila*
Pengamat Timur Tengah pada ISMES
(The Indonesian Society for Middle East Studies)  

Perjalanan demokratisasi di Mesir berhenti seketika bak mesin yang kehabisan bahan bakar ketika militer Mesir mengkudeta pada 3 Juli lalu presiden pertama Mesir yang dipilih lewat pemilu paling demokratis dalam sejarah demokrasi Mesir, Muhammad Mursi. Konstitusi yang telah disusun dengan susah payah pun dibatalkan serta anggota parlemen terpilih dibekukan oleh militer.

Bila kita lihat sejarah Mesir ke belakang, Mesir telah dua kali mengalami kudeta yaitu pertama pada masa Raja Farouk dimana ia dikudeta oleh sekelompok perwira militer pimpinan letkol Gamal Abdul Nasser. Pada kudeta pertama ini, hampir seluruh rakyat mendukungnya karena juga merupakan runtuhnya pemerintahan monarki yang korup, mewah dan tidak peduli dengan rakyat. Walaupun diwarnai dengan pelengseran PM Naguib kala itu hingga Nasser menjadi presiden, Nasser mampu membawa Mesir menjadi pemimpin Arab waktu itu hingga akhirnya Naser wafat pada 1970-an dan digantikan oleh Anwar Sadat.

Perjalanan demokrasi di negara Mesir ini tidaklah berjalan mulus, ketika Anwar Sadat terbunuh oleh kelompok militan maka Husni Mubarok menggantikan posisinya, pada masa inilah Mesir berada dibawah pemerintahan represif selama lebih dari 30 tahun. Era inilah menjadi masa kelam demokrasi Mesir, dimana tidak ada lagi kebebasan berbicara dan berpendapat.

Ketika angin revolusi dunia Arab berhembus atau populer dengan sebutan ‘Arab Spring’ pada awal 2011 yang dimulai dari Tunisia, Mesir tidak dapat mengelak dari gelombang revolusi rakyat Arab ini, di mana rakyat Mesir turun kejalan-jalan untuk menyuarakan dan menuntut mundurnya presiden yang telah berkuasa cukup lama, Husni Mubarok. Karena diprotes besar-besaran hingga menimbulkan bentrokan dan korban jiwa akhirnya penguasa Mesir yang telah cukup lama bertahta ini lengser pada Februari 2011 lalu.

Era setelah lengsernya Husni Mubarok inilah menjadi harapan baru bagi rakyat Mesir untuk menyongsong masa depan negeri para nabi dengan sejarah peradaban tuanya ini. Singkat kata, seluruh kelompok yang ada di Mesir bersatu padu dalam merumuskan masa depan Mesir, hingga akhirnya tercipta pemilu yang terbilang paling demokratis dalam sejarah Mesir di mana pemenangnya adalah kelompok Ikhwanul Muslimin yang sebelumnya dibungkam oleh Husni Mubarok. Pemilihan presiden pun dimenangkan oleh Muhammad Mursi dari Partai Keadilan dan Kebebasan yang merupakan sayap politik gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dengan perolehan suara yang cukup besar yaitu lebih dari 50 persen, ini berarti pendukung Mursi bukan hanya dari simpatisan IM tapi juga dari rakyat Mesir lainnya.

Kelompok Liberal, Sekuler, Sosialis dan kelompok lainnya yang awalnya mendukung pemilu yang adil dan demokratis terlihat kecewa dan pelan-pelan menunjukkan wajah aslinya, Mursi dianggap hanya mewakili kepentingan IM, maka ketidakpuasan kelompok ini ditunjukkan dengan aksi turun ke jalan menentang pemerintahan sah Mursi yang dipilih lewat pemilu demokratis.

Kudeta Militer Kedua: Menyengsarakan Rakyat

Aksi demonstrasi oposisi yang menentang kekuasaan Mursi berlanjut dengan diwarnai bentrokan antara polisi dan para demonstran hingga terjadi bentrokan berdarah. Situasi seperti ini sebetulnya merupakan kewajaran dalam negara yang baru saja lepas dari pemerintahan otoriter menapaki menjadi sebuah negara yang lebih baik, ini merupakan fenomena yang sama terjadi di Indonesia ketika masa reformasi walaupun di Indonesia tidak sampai menimbulkan konflik horizontal berdarah yang berkepanjangan.

Kelompok-kelompok yang berbeda pendapat atau dapat dikatakan oposisi yang kecewa karena kalah dalam pemilu melakukan kritik terhadap pemerintah atau jika mau dikatakan dalam kasus Mesir ini adalah merongrong pemerintahan Mursi yang sah.

Militer Mesir yang seharusnya menjadi pengawal demokratisasi era pasca Mubarok akhirnya mencederai dan melecehkan demokrasi pilihan rakyat lewat serangkaian pemilu yang memakan waktu dan tenaga serta materi yang tidak sedikit. Militer mengkudeta presiden Mursi pada 3 Juli lalu, mengambil alih kekuasaan dan membentuk pemerintahan sementara. Kudeta ini didukung kelompok Liberal, Sekuler, Sosialis dan kelompok lain yang menganggap Mursi lebih mengutamakan kepentingan IM dan terlepas dari berhasil tidaknya Mursi dalam memimpin Mesir yang baru berumur satu tahun memerintah.

Dunia Internasional mempunyai reaksi beragam terhadap kudeta ini, seperti Qatar dan Turki yang mengecam keras kudeta memalukan ini. Barat mempunyai reaksi yang dingin, bahkan Amerika Serikat sampai detik ini tidak mau menyebut sebagai sebuah kudeta.

Para pendukung dari presiden terguling tidak tinggal diam, demonstrasi yang tadinya dipenuhi oleh pendukung kontra Mursi berganti menjadi pro Mursi dengan tuntutan yang berbeda juga. Pro Mursi bertekad akan terus berdemo sampai Mursi dibebaskan dan dikembalikan jabatannnya. Hingga akhirnya, para pendukung Mursi ini mendirikan kemah dengan aksi damainya selama lebih dari tujuh pekan bahkan merayakan hari raya Idul Fitri di jalanan tempat berdemo yaitu dekat Masjid Rabi'ah al Adawiyah dan Bundaran Nahda, Nasr City, Kairo.

Militer Mesir atas restu pemerintah sementara bentukan jenderal arsitek kudeta Abdul Fatah As-Sisi, akhirnya menginstruksikan membubarkan para pendemo yang telah bertahan lama dengan menggunakan segala upaya yang ada, sehingga terjadilah bentrokan berdarah pada 14 Agustus 2013 lalu atau lebih tepat digunakan istilah pembantaian karena militer menggunakan buldoser dan timah panas untuk membubarkan demonstrasi.

Korban tewas berjatuhan dan jumlah korban simpang siur, namun angka pastinya mencapai ribuan orang. Jumlah yang cukup fantastis walaupun Kementerian Kesehatan Mesir menyangkal jumlah korban tewas hanya ratusan orang. Peristiwa itu mengingatkan kita pada tragedi berdarah di lapangan Tiananmen antara militer China dengan para mahasiswa yang berdemo atau bahkan lebih sadis menurut pendapat jurnalis yang meliput langsung peristiwa tersebut.

Reaksi Dunia

Negara kampiun demokrasi yaitu AS tetap saja bersikap hipokrit dengan hanya memberikan statemen dingin "dunia sedang mengamati" dan "semua pihak yang bertikai harus menahan diri". Lain halnya dengan negara lainnya yang hanya mengecam atau mengutuk dengan keras tindakan biadab tersebut sama seperti PBB walaupun mengadakan sidang darurat tapi hanya seperti kebakaran jenggot namun tidak memiliki jenggot itu sendiri.

Reaksi yang sangat keras dan konsisten semenjak kudeta mulai ditunjukkan oleh PM Turki Recep Tayyip Erdogan, memang dibutuhkan tindakan konkret dan dukungan dari semua negara terutama PBB untuk menyelesaikan konflik berdarah ini, bahkan sangat mungkin pucuk pimpinan militer dan penguasa Mesir sekarang dibawa ke meja hijau pengadilan internasional. Kudeta Militer disadari menyengsarakan rakyat Mesir dan dunia tidak boleh tinggal diam dengan aksi keji pembantaian sipil ini.

Lain halnya dengan Israel yang tentu saja mengambil manfaat dari situasi konflik yang berkelanjutan di Mesir ini, dunia boleh saja curiga terhadap Israel dan bukan tidak mungkin Israel membantu militer Mesir dalam membantai rakyatnya sendiri. Terdapat laporan beberapa hari sebelum kudeta Jenderal As-Sisi bertemu dengan para pejabat Israel bahkan ditengarai Israel menyuplai senjata yang digunakan untuk menyerbu demonstrasi  pro Mursi.

Indonesia yang merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dan baru saja merayakan ulang tahun kemerdekaannnya yang ke-68 mempunyai hutang sejarah dengan Mesir, Mesir merupakan negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan negara Indonesia dan pada waktu itu merupakan modal yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia yang baru saja merdeka karena diplomasi Indonesia waktu itu adalah diplomasi mendapatkan pengakuan dari negara lain.

Dalam buku yang ditulis Zein Hassan “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri”, rakyat Mesir yang dimotori gerakan IM pada masa Indonesia baru merdeka membantu menghalau kapal-kapal Belanda yang akan melintasi Terusan Suez. Kapal-kapal ini membawa bantuan untuk pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia atas bantuan Inggris yang masih bercokol di Mesir walaupun Inggris telah memberikan kemerdekaan pada Mesir pada tahun 1922.

Ini berarti rakyat Mesir bukan hanya membantu secara politis tetapi juga dengan tindakan nyata mengorbankan harta bahkan nyawa untuk membantu saudara muslim yang berada jauh ribuan kilometer jaraknya untuk merdeka dari kungkungan penjajah Belanda.

Lantas, apakah dengan situasi sekarang, Mesir menagih hutang kepada kita bangsa Indonesia? Ternyata tidak, Mesir hanya minta didoakan agar konflik sekarang cepat selesai. Namun, sebagai bangsa yang punya harga diri, Indonesia sepatutnya menunjukkan langkah nyata untuk membantu menyelesaikan masalah yang mendera Mesir. Mesir tidak butuh kicauan di media social semacam Twitter atau Facebook dari seorang pemimpin dengan populasi muslim terbesar di dunia, sekali lagi Mesir butuh dukungan dan tindakan nyata. Apakah kita selamanya akan berhutang sejarah kepada bangsa Mesir? Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka !

*sumber: Mi’raj News Agency (MINA)

Post a Comment

Terimkasih anda telah Mendukung Keadilan dan Kebenaran

detik59.com hadir karena Jujur itu Wajib dan Bohong itu Dosa! Berjuang untuk keadilan dan kebenaran itu Wajib, Meninggalkan medan perang melawan tirani kebohongan adalah Haram!!!

Salam Sukses
ayi.okey@gmail.com CEO www.pesantrenbisnis.com

 
Top